Kadang saya bingung, mau mengupas sebuah film itu, apakah dari sisi baiknya dulu atau dari kelemahannya dulu.
Yang pasti, film Hayya ini punya dua sisi tersebut. Baik dari segi cerita maupun teknis, meski sisi terakhir bisa kita maklumi bersama karena keterbatasan dana.
Film ini dibuka dengan cukup apik, di mana Adin (Adhin Abdul Hakim) memulai cerita dengan adegan lelarian bersama Hayya (Amna Shahab) dengan diiringi sebuah voice over menarik tentang makna hijrah bagi Adin. Dia memberikan tamtsil (perumpamaan) bahwa hijrah itu seperti lari marathon, semua pengen buru-buru meninggalkan start point dan mencapai garis finish. Meski di tengah perjalanan, punya resiko kehabisan tenaga, lelah dan sebagainya. Namun di garis finish ada kemenangan, di mana tentu dimaksudkan di sini adalah surga dan keridhaan-NYA.
Secara pengadeganan, ini menarik karena meski tak 100% tamtsil ini kita sepakati, namun di sini menunjukkan adanya kekuatan penulisan dialog di dalam adegan yang memang cukup nyambung dengan apa yang disajikan dalam visualnya. Ngomongin marathon dalam adegan sedang berlarian.
Belum lagi Ketika bergeser saat Rahmat (Fauzi Baadila) dan Adin yang ke Palestina. Secara visual cukup menarik walau sedikit kaku secara pengadeganan.
Sayangnya beberapa hal cukup mengganggu bagi saya di film ini.
Saya merasa dalam sisi penulisan naskah ada kelemahan yang sangat mendasar. Beberapa adegan tidak penting bisa masuk ke dalam film tanpa adanya signifikasi editing. Sementara ada adegan yang hilang, padahal itu cukup penting. Entah, apa mungkin ini karena campur tangan Mba Asma Nadia, selalu penulis novelnya yang langsung handle penulisan skenario di film ini, which is actually penulis skenario itu tidak lah sama dengan penulis novel. Karena novel dan film adalah media yang berbeda, punya bahasa komunikasi yang tak sama. Penulis novel, Ketika dia membuat skenario, ingin semua adegan yang dia create dalam cerita di novel, bisa divisualkan dalam filmnya. Tanpa memikirkan sisi estetika dan urgensinya. Padahal, kalo kata dosen saya dulu, bang Armantono, adegan dalam film itu hanya hal-hal yang penting diketahui oleh penonton saja, bukan sesuatu yang semua bisa dimasukkan ke dalamnya jika tak punya kontribusi kuat dalam pembangunan cerita.
HAL-HAL TIDAK PENTING
Hal tidak penting yang masuk dalam adegan, misalnya; saat di adegan awal pelarian Hayya bersama Adin dari kejaran tim Aman Palestin dan pihak kepolisian, kemudian Adin dan Hayya dibuat bertemu sama lelaki-lelaki banci. Hal ini tidak punya kontribusi signifikan bagi cerita kecuali hanya efek dimensional-nya saja yakin hiburan kelucuan semata.
Okay, mungkin ada pesan tertentu terkait LGBT yang mau disampaikan dalam adegan ini. Tapi banci masuk frame dalam film islami, sudah sepatutnya dipertimbangkan lagi, apakah layak atau tidak untuk ditampilkan. Belum lagi olah dialog yang menyebut banci tersebut sebagai, "manusia lendir." Maka ini akan sedikit bergeser dari kesan dakwah dan tontonan yang "aman." Jika adegan ini diganti dengan treatment kekonyolan lain pun masih bisa, tanpa harus menghadirkan banci-banci di dalamnya.
Ada pula, adegan ketika Rahmat dan Adin bertemu kembali dengan Ust. Erick Yusuf dan tim Aman Palestin. Sebelum membicarakan inti dari pertemuan mereka, sempat ada dialog yang "ngalor-ngidul" dan tak fokus atau tak berkaitan langsung dengan cerita utama, meski bernilai dakwah. Di sini indikasi yang saya maksud bahwa boleh jadi, penulis novel ingin memasukkan unsur dakwah islam dalam guratan novelnya, namun ketika berbicara media film, maka stigma ini harus disesuaikan lagi. Tak bisa memaksakan setiap adegan sesuai dengan novelnya dan tidak setiap konten (meski baik), harus masuk ke dalam frame. Adegan percakapan tersebut, merasa "wasting of time" saja pada akhirnya. Padahal, editor mampu membuang part itu tanpa masalah berarti.
HAL PENTING YANG TERLEWAT
Berkebalikan dengan hal sebelumnya, ada part penting yang justru dilewatkan tanpa diberikan porsi adegan yang cukup di dalamnya. Yakni saat Hayya dan Ricis (Ria Ricis) masuk ke dalam rumah Abah saat Rahmat hendak lamaran pada keluarga Hasan (Meyda Sefira). Abah yang kaget karena Hayya memanggil Rahmat dengan sebutan Abi dan Ricis menyebut dirinya Ummi, membuat semua orang salah faham dan Abah pun pingsan.
Di adegan ini, setelah Abah pingsan, langsung jumping ke adegan di mana semua tiba-tiba sudah memaafkan dan memaklumi Rahmat. Padahal, tensi saat itu sedang meninggi, harusnya "digebrak" lagi intensitasnya dengan meledaknya kekecewaan Hasna dan semakin gencarnya tuduhan Bibi (Asma Nadia) pada Rahmat. Dibuat Rahmat kebingungan bagaimana menjelaskannya sehingga mereka bisa memahami hal tersebut di scene selanjutnya. Adegan ini malah hilang, entah dipotong atau memang tak pernah dibuat sama sekali. Jika memang begitu, maka memang sejak awal informasi ini tidak ingin dihadirkan dan membuat adegan memiliki penyelesaian yang sangat dipaksakan.
ADANYA MISKONSEPSI
Entah apa yang ada di benak sang sutradara, Jastis Lig, eh maksudnya Jastis Arimba, sehingga memasukkan beberapa adegan ambigu yang tak punya kekuatan motivasi serta miskonsepsi.
Misal, adegan di mana Hayya hadir pertama kali di rumah Rahmat. Jastis Arimba malah menampilkan adegan tersebut dengan konsep film horror dengan diawali mati lampu atau ada sedikit korsleting pada listrik di rumahnya. Hayya dimunculkan sekelebat di background agar kesan misteriusnya kian menguat. Ditambah lagi dengan music score yang makin lama makin suspense. Padahal, penonton dari awal sudah tahu bahwa Hayya akan ada bersama Rahmat di hampir sepanjang film. Sehingga pasti dalam alam bawah sadar penonton, mereka sudah tidak akan surprise lagi dengan kehadiran sosok Hayya di situ.
Jika ia mau, justru pengadeganan bisa diganti dengan misal, Rahmat pulang ke rumahnya dalam kondisi lelah. Ia meletakkan koper-kopernya di dalam kamar. Ia kemudian ke ruang tengah untuk sekedar menonton berita di TV sembari sejenak merebahkan tubuhnya. Cut to scene di dalam kamar, tiba-tiba koper milik Rahmat terbuka sendiri yang ternyata di dalamnya ada Hayya yang sedang bersembunyi. Kemudian Hayya pun show herself di hadapan Rahmat.
Hal ini lebih memberi kesan surprise bagi para penonton, ketimbang adegan itu ditunjukkan dalam bentuk flashback.
Miskonsepsi berikutnya adalah ketika ada adegan "audisi" mencari babysitter untuk Hayya. Makin ga jelas mau ngapain dengan adegan itu. Sampai-sampai ada adegan di mana teman saya, Burhan R Hazami harus berperan sebagai 'sosok wanita yang terjebak dalam tubuh pria.' Lucu sih, namun lagi-lagi muncul unsur LGBT di adegan ini. Apalagi memunculkan tokoh yang auratnya belum tertutup rapi tanpa alasan yang kurang signifikan. Ini bisa memunculkan kesan negatif tersendiri bagi film ini.
Kenapa ini miskonsepsi? Mungkin Jastis Arimba ingin memberikan nuansa horror dan komedi di adegan-adegan tersebut. Namun sayang, konsep nya ini terlalu dipaksakan. Adegan maupun plot bisa berjalan lebih baik jika konsepnya tak dibuat seperti itu.
PLOT HOLE
Tak pelak lagi, pasti ada plot hole (lubang plot) yang sedikit menganga di film ini. Semisal alasan yang kurang kuat dari Rahmat untuk "keep Hayya safe with him." Impact dari hal tersebut justru tak diperhitungkan oleh Rahmat. Meski ini memang jadi "bumbu konflik" utama dalam film, namun delivery motif yang kurang, membuatnya jadi kurang reasonable. Andaikata Rahmat mengembalikan Hayya ke Aman Palestin, kemudian diciptakan satu tokoh jahat yang menyamar menjadi salah satu crew, yang ternyata belakangan diketahui adalah seorang pelaku human trafficking, maka baru di situlah Rahmat punya alasan cukup kuat untuk "mengamankan" Hayya dengan jalannya sendiri, karena dunia di sekitar nya mulai tak bisa dipercaya.
RIA RICIS
Meski sosoknya cukup kontroversial di kalangan ibu-ibu dan penikmat YouTube, tapi Ricis lah yang membuat film ini lebih hidup. Actingnya yang jadi cewek asal Malaysia, sangat menghibur. Bahkan shift emosinya pun bagus, dari riang ke emosi cemas, takut maupun sedih. Tanpa kehadiran Ricis, film ini seakan kehilangan ruh dan berpotensi membuat ngantuk penontonnya. Apalagi plot yang cenderung flat di pertengahan film. Ricis yang membantu mendongkrak keseruan film dari pertengahan hingga akhir film. Thanks to ALLAH for choosing Ricis in this film.
Peran Hamas Syahid yang tampak tak terlalu penting, hanya menjadi sekedar pemanis semata di film ini. Sangat 'kebanting' dengan sosok Ricis yang amat berperan dalam development cerita dan karakter.
Hayya sendiri, meski di beberapa part ia bisa melakukan tugasnya dengan cukup baik, tapi pertumbuhan karakternya kurang diperhatikan. Sehingga kehadirannya masih belum maksimal, meski ia berhasil menjadi sosok yang men-drive jalannya cerita.
Cerita Hayya ini jika dibuat dengan pendekatan yang lebih baik, akan sangat bagus. Beberapa waktu lalu, saya dan istri menonton film India di laptop, besutan sutradara sekaligus aktor, Aamir Khan. Judulnya, "Like Stars on Earth." Di mana berkisah tentang Ishaan, seorang anak diseleksia yang "dipaksa" bersaing dengan anak-anak normal di sekolah umum. Pendekatan dan point of view yang digunakan Amir Khan di film ini sangat keren untuk menggambarkan kegalauan dan kebimbangan sosok Ishaan dalam menghadapi realita dunia. Seharusnya sosok Hayya yang traumatik akibat benturan di negeri konflik, bisa lebih diulik sehingga menjadikannya karakter dan cerita yang menarik.
SISI SYARI'AT
Jika saya di sini berperan sebagai kokohiyyun, pasti akan banyak cela yang terlontar untuk film ini dari segi syari'at. Meskipun secara realita, itu bukan sisi dominan yang ada dalam film ini. Tapi itulah mereka yang memang suka tajassus (mencari-cari kesalahan). Film ini akan tertahdzir habis dari beberapa sisi mengacu pada adegan (dengan mengesampingkan sementara soal khilafiyah musik dalam Islam).
Di film ini, memang banyak pesan positif yang coba diselipkan, namun belum sepenuhnya mampu menghindarkan dari sisi pelanggaran dalam syari'at. Selain masalah "LGBT" yang disinggung dalam beberapa part, ada beberapa masalah "perintilan" lainnya dalam film ini.
Misal, hal kecil, pemilihan diksi yang digunakan baik Rahmat maupun Adin yang kadang masih 'kasar.' Ini sedikit mencederai film dakwah. Meski ingin menggambarkan sosok karakter baru hijrah dari dunia nyata. Karena fakta berbicara, terkadang di kalangan aktifis masih saja ada yang melontar kata kurang pantas, seperti "sh*t" atau "tel*k." If you know what I mean. Colek Arief AbdurRachman, Prima Virdana, Oscar.Arsya Saimima :D
Belum lagi batas-batas etika ta'aruf antara Rahmat dan Hasna yang sedikit diabaikan. Di mana terkadang mereka bisa mengobrol bebas berdua baik langsung maupun telepon. Meski pembicaraannya lebih progresif soal pernikahan, bukan kegombalan yang banyak hadir di film lain.
SISI TEKNIS
Overall, tidak terlalu banyak masalah di sisi ini. Meski ada beberapa scene yang kurang smooth editingnya, atau pengadeganan yang agak kaku, dan penggunaan efek yang belum maksimal. Contohnya ketika adegan menjelang ending, ada scene dengan petir menyambar, tapi tanpa didukung oleh lighting effect sama sekali.
Camera movement sih udah oke, pun pemakaian FPS (frame per second) yang sudah cukup pas untuk adegan slowmotion-nya.
Keterbatasan budget, tentu jadi kendala tersendiri di dalam pembuatannya dan ini sangat dimaklumi.
Dan saya juga memberi credit adanya planting dan pay off yang pas di film ini meski saya sudah dari awal bisa menduganya. Misal adegan Rahmat menyuruh Adin membeli cincin untuk Hasna pada scene planting, dan pay off-nya adalah ketika Hasna kaget pada cincin yang diberikan oleh Rahmat.
So, skor 6.9 saya pandang, "Fair Enough!" untuk memberi rate film ini. Film yang sarat edukasi meski tak menafikan adanya banyak kekurangan di sana sini. At least, ini masih bisa dibilang slightly better dari film prequel-nya, 212: The Power of Love. Semoga film selanjutnya bisa terus berbenah dan lebih baik.
========
*dari yang masih bodoh dan berupaya terus belajar bikin film yang baik, akhukum al faqir, Muhammad Valdy Nur Fattah